Senin, 06 Juli 2009

Subronto Versi Tempo Edisi. 38/XII/20 - 26 November 1982




Subronto Kusumo Atmodjo meninggal dunia, pernah ditahan di Pulau Buru (G30.S/PKI), pencipta lagu Nasakom Bersatu. Komponis yang dikenal berpendirian teguh itu akhirnya harus menyerah. Di rumahnya, di kawasan Pondok Gede, Bekasi, Jumat 12 November, meninggal dunia karena tumor menyerang paru-parunya. Dialah Subronto Kusumo Atmodjo, 52 tahun, yang salah sebuah ciptaannya, entah berapa kali sehari, selalu dikumandangkan stasiun RRI di seluruh Indonesia di zaman Orla: Nasakom Bersatu.

Di tahun 50-an Subronto memang termasuk salah seorang komponis yang baik. Suburlah Tanah Airku, salah satu karyanya waktu itu, dianggap oleh beberapa musikus sebagai ciptaan yang enak didengar dan tahan zaman. Beberapa hari sebelum ia meninggal, sebuah grup paduan suara membawakan lagu itu di TVRI Jakarta. Bila di tahun 50-an itu nam. anya luas dikenal, karena ia memimpin grup paduan suara Merdeka. Di Jakarta. grup itu lebih populer dibanding grup paduan suara RRI, "karena yang dibawakan Pak Subronto kebanyakan lagu-lagu daerah, sementara grup RRI lebih banyak membawakan lagu klasik, lagu standar yang tidak populer," tutur salah seorang wanita yang pernah tergabung dalam grup paduan suara RRI.Tapi sejak 1965 nama Subronto menghilang dari peredaran. Pada 1962 ia memang berangkat ke Jerman Timur untuk belajar tentang 
paduan suara dan komposisi di Sekolah Musik Hanns Eisler. Begitu pulang ke tanah air, setelah lulus dengan cum laude, 1968, ia langsung ditahan. Apa mau dikata, ia memang anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dilarang. Dua tahun kemudian, 1970, ia dikirim ke Inrehab Pulau Buru. Baru Desember 1977, Subronto kembali ke masyarakat Jakarta. 
Toh, semangat kesenimanannya tidak luntur. Di Inrehab Buru pun ia membentuk grup musik, yang dinamakan Wai Apu Nada yang menyanyikan Kudaku Lari (lagu Melayu), Come Back to Sorrento dan La Paloma. Kontaknya dengan musik yang tak pernah terputus itulah, yang agaknya membuat Subronto menerima tawaran Alfred Simanjuntak, Dir-Ut PT. BPK Gunung Mulia. Ia diminta menjadi redaktur musik di badan penerbit itu.

Tentu, orang kelahiran Margotuhu, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah itu, bukannya tidak pernah mengalami krisis kejiwaan. Dari sebuah lagu yang diciptakannya pada 1968, kembalilah, ia seperti hendak bercerita tentang pengalaman batinnya. Bila pribadi sudah hilang/ Hanyut ditelan pacuan rangsang/ Ke mana diri harus kaucari/ Ke mana diri harus kaucari. Bait pertama ini seperti bercerita tentang hilangnya kepercayaan diri. Dan di bagian penutup, Subronto seperti sudah menemukan pegangan: kembali, kembalilah pada dirimu. Di Inrehab Buru -- seperti dituturkannya dalam bukunya yang 
barusan diterbitkan PT. BPK Gunung Mulia, Bertemu Kristus dalam Penjara--ia menemukan iman dalam Kristen. Dan ini, setelah ia memasyarakat kembali, membawanya menjadi anggota inti nyanyian gereja dari Yayasan Musik Gereja. Di yayasan ini Subronto membuktikan pula kebolehannya. Dari lirik yang ditulis oleh rekannya, ia menciptakan musiknya, dan terbitlah sebuah rekaman kaset lagu gereja, Kantata Bintang Betlehem. Menurut H.A. Van Dop, orang Belanda anggota yayasan 
tersebut, dalam kaset itu terasa benar napas keindonesiaannya. "Subronto mengkombinasikan gamelan dan alat gesek," tutur Van Dop. Beberapa orang pemusik memang tidak melupakan Subronto, lepas dari warna politiknya waktu dulu. Grup paduan suara Svarna Gita, yang dibentuk pada 1980, memintanya untuk menjadi pelatih. "Kami ternyata cocok sekali dengan Pak Bronto," tutur Wien Haryadi, sekretaris grup paduan suara yang cukup populer namanya di Jakarta itu. Bahkan wanita itu tidak melupakan kebaikan pelatihnya, yang tiap datang mendapat honorarium cuma Rp. 15 ribu, tapi selalu bersedia mengantar beberapa anggota grup sehabis latihan.

Sementara Subronto sendiri, seperti menemukan medan tantangan yang menggairahkan di Svarna Gita. Oktober 1981 di Studio V RRI Jakarta, grup paduan suara itu mempergelarkan opera karya Mendehlsson, Athalia, terjemahan Subronto. Ini termasuk 
pergelaran yang sukses. Terakhir Subronto 29 Juli '82 bersama Svarna Gita, muncul di depan umum, di Taman Ismail Marzuki, membawakan konser musik.
Tapi orang yang menurut Alfred Simanjuntak bisa menyesuaikan dengan lingkungan pergaulan itu, tak bisa diajak kompromi terhadap ciptaannya. Misalnya, pada 1962 sebuah grup paduan suara dalam membawakan ciptaan Subronto mengubah sebuah kata. 
Langsung ia, yang mendengar dari seorang temannya, menyambar sepeda menuju tempat latihan. Entah bagaimana, akhirnya grup tersebut bersedia membawakan ciptaan Subronto sesuai dengan aslinya. Dalam catatan yang pernah ia berikan kepada TEMPO, Subronto mengaku telah menciptakan 20 nyanyian tunggal dengan iringan 
piano, 15 lagu untuk paduan suara, 25 lagu gerejawi, tiga buah kantata dan oratoria, sebuah musik untuk sendra tari, dan puluhan aransemen atas lagu komponis lain. Belum termasuk beberapa lagu mars yang diciptakannya di zaman Orla, yang kini tak pernah lagi terdengar: Nasakom Bersatu, Resopim, Gotong Royong.



2 komentar:

  1. Salam hormat, terima kasih atas blog anda. Tentang catatan TEMPO tersebut, bisakah mendapatkan referensinya- ingin tahu tentang 20 karya Subronto nyanyian tunggal dengan iringan piano - tajuk-tajuknya ,jika ada. Sekian terima kasih...

    BalasHapus
  2. Seorang biasa dengan kisah hidup yg luar biasa. Ini ayahanda mbak Ratih?

    BalasHapus