Senin, 06 Juli 2009

Subronto Versi Tempo Edisi. 38/XII/20 - 26 November 1982




Subronto Kusumo Atmodjo meninggal dunia, pernah ditahan di Pulau Buru (G30.S/PKI), pencipta lagu Nasakom Bersatu. Komponis yang dikenal berpendirian teguh itu akhirnya harus menyerah. Di rumahnya, di kawasan Pondok Gede, Bekasi, Jumat 12 November, meninggal dunia karena tumor menyerang paru-parunya. Dialah Subronto Kusumo Atmodjo, 52 tahun, yang salah sebuah ciptaannya, entah berapa kali sehari, selalu dikumandangkan stasiun RRI di seluruh Indonesia di zaman Orla: Nasakom Bersatu.

Di tahun 50-an Subronto memang termasuk salah seorang komponis yang baik. Suburlah Tanah Airku, salah satu karyanya waktu itu, dianggap oleh beberapa musikus sebagai ciptaan yang enak didengar dan tahan zaman. Beberapa hari sebelum ia meninggal, sebuah grup paduan suara membawakan lagu itu di TVRI Jakarta. Bila di tahun 50-an itu nam. anya luas dikenal, karena ia memimpin grup paduan suara Merdeka. Di Jakarta. grup itu lebih populer dibanding grup paduan suara RRI, "karena yang dibawakan Pak Subronto kebanyakan lagu-lagu daerah, sementara grup RRI lebih banyak membawakan lagu klasik, lagu standar yang tidak populer," tutur salah seorang wanita yang pernah tergabung dalam grup paduan suara RRI.Tapi sejak 1965 nama Subronto menghilang dari peredaran. Pada 1962 ia memang berangkat ke Jerman Timur untuk belajar tentang 
paduan suara dan komposisi di Sekolah Musik Hanns Eisler. Begitu pulang ke tanah air, setelah lulus dengan cum laude, 1968, ia langsung ditahan. Apa mau dikata, ia memang anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dilarang. Dua tahun kemudian, 1970, ia dikirim ke Inrehab Pulau Buru. Baru Desember 1977, Subronto kembali ke masyarakat Jakarta. 
Toh, semangat kesenimanannya tidak luntur. Di Inrehab Buru pun ia membentuk grup musik, yang dinamakan Wai Apu Nada yang menyanyikan Kudaku Lari (lagu Melayu), Come Back to Sorrento dan La Paloma. Kontaknya dengan musik yang tak pernah terputus itulah, yang agaknya membuat Subronto menerima tawaran Alfred Simanjuntak, Dir-Ut PT. BPK Gunung Mulia. Ia diminta menjadi redaktur musik di badan penerbit itu.

Tentu, orang kelahiran Margotuhu, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah itu, bukannya tidak pernah mengalami krisis kejiwaan. Dari sebuah lagu yang diciptakannya pada 1968, kembalilah, ia seperti hendak bercerita tentang pengalaman batinnya. Bila pribadi sudah hilang/ Hanyut ditelan pacuan rangsang/ Ke mana diri harus kaucari/ Ke mana diri harus kaucari. Bait pertama ini seperti bercerita tentang hilangnya kepercayaan diri. Dan di bagian penutup, Subronto seperti sudah menemukan pegangan: kembali, kembalilah pada dirimu. Di Inrehab Buru -- seperti dituturkannya dalam bukunya yang 
barusan diterbitkan PT. BPK Gunung Mulia, Bertemu Kristus dalam Penjara--ia menemukan iman dalam Kristen. Dan ini, setelah ia memasyarakat kembali, membawanya menjadi anggota inti nyanyian gereja dari Yayasan Musik Gereja. Di yayasan ini Subronto membuktikan pula kebolehannya. Dari lirik yang ditulis oleh rekannya, ia menciptakan musiknya, dan terbitlah sebuah rekaman kaset lagu gereja, Kantata Bintang Betlehem. Menurut H.A. Van Dop, orang Belanda anggota yayasan 
tersebut, dalam kaset itu terasa benar napas keindonesiaannya. "Subronto mengkombinasikan gamelan dan alat gesek," tutur Van Dop. Beberapa orang pemusik memang tidak melupakan Subronto, lepas dari warna politiknya waktu dulu. Grup paduan suara Svarna Gita, yang dibentuk pada 1980, memintanya untuk menjadi pelatih. "Kami ternyata cocok sekali dengan Pak Bronto," tutur Wien Haryadi, sekretaris grup paduan suara yang cukup populer namanya di Jakarta itu. Bahkan wanita itu tidak melupakan kebaikan pelatihnya, yang tiap datang mendapat honorarium cuma Rp. 15 ribu, tapi selalu bersedia mengantar beberapa anggota grup sehabis latihan.

Sementara Subronto sendiri, seperti menemukan medan tantangan yang menggairahkan di Svarna Gita. Oktober 1981 di Studio V RRI Jakarta, grup paduan suara itu mempergelarkan opera karya Mendehlsson, Athalia, terjemahan Subronto. Ini termasuk 
pergelaran yang sukses. Terakhir Subronto 29 Juli '82 bersama Svarna Gita, muncul di depan umum, di Taman Ismail Marzuki, membawakan konser musik.
Tapi orang yang menurut Alfred Simanjuntak bisa menyesuaikan dengan lingkungan pergaulan itu, tak bisa diajak kompromi terhadap ciptaannya. Misalnya, pada 1962 sebuah grup paduan suara dalam membawakan ciptaan Subronto mengubah sebuah kata. 
Langsung ia, yang mendengar dari seorang temannya, menyambar sepeda menuju tempat latihan. Entah bagaimana, akhirnya grup tersebut bersedia membawakan ciptaan Subronto sesuai dengan aslinya. Dalam catatan yang pernah ia berikan kepada TEMPO, Subronto mengaku telah menciptakan 20 nyanyian tunggal dengan iringan 
piano, 15 lagu untuk paduan suara, 25 lagu gerejawi, tiga buah kantata dan oratoria, sebuah musik untuk sendra tari, dan puluhan aransemen atas lagu komponis lain. Belum termasuk beberapa lagu mars yang diciptakannya di zaman Orla, yang kini tak pernah lagi terdengar: Nasakom Bersatu, Resopim, Gotong Royong.



Riwayat Hidup Subronto Kusumo Atmojo


Sekitar tahun 1920-1930, banyak terjadi pemberontakan melawan Belanda yang berorientasi kemerdekaan Indonesia. Karto Atmojo, salah seorang yang sangat diperhitungkan oleh Belanda pada saat itu, yang mempunyai pengaruh penting dalam bidang pembangunan di desa Margomulyo diantaranya membangun satu-satunya masjid di Margomulyo, beberapa jembatan, tanggul, dan bendungan-bendungan yang mengaliri sawah warga. Beliau berhasil menjadi seorang pengusaha di bidang penggilingan padi dan penggilingan tebu atau gula merah, walau tingkatannya rendah beliau sudah menggunakan mesin pada waktu itu.
Terjadilah penangkapan terhadap para pejuang kemerdekaan, Karto Atmojo beserta teman-temannya ditangkap dan dibuang ke Boven Digul. Karena tidak tahu kapan dipulangkan, Karto Atmojo diizinkan membawa istrinya Sumilah beserta tiga orang putrinya. Tiga tahun di Boven Digul, Sumilah hamil. Karena tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai, Sumilah diperkenankan pulang untuk melahirkan di Margomulyo. Dalam keberangkatan ke Jawa, Karto Atmojo berpesan “kalau kandunganmu nanti lahir perempuan, terserah kau beri nama siapa, tapi kalau laki-laki tolong beri nama SUBRONTO” .

RIWAYAT HIDUP
Nama
Subronto Kusumo Atmojo
Tanggal dan tempat lahir
Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 12 Oktober 1929
Sejak umur ± 5 tahun Subronto dititipkan oleh ibunya kepada kakaknya yang pertama (Sitti Kuntari) di Kudus, lalu bertempat tinggal pada kakaknya nomor 3 (Sitti Muntamah/istri dari Hadi Sumarto) di Surabaya dan kemudian tinggal dengan kakaknya no. 4.
Cerita kecil::
Di rumah Hadi Sumarto mempunyai seperangkat gamelan, mempunyai paguyuban karawitan yang diberi nama “Mardi Laras”. Diadakan latihan setiap Sabtu dan Kamis malam hari. Subronto sering tertidur di sela-sela gamelan. Kalau ada latihan, Subronto selalu nonton sampai larut malam, tidak mau tidur kalau latihannya belum selesai. Di hari latihan, kebetulan latihannya lengkap, dengan pembukaan lagu puspowarno. Yang pegang gambang harus membuka dulu dengan memukul wilahan 6 12 32 21 63 3 121 55 65. Ternyata wiyogonya berulang-ulang tidak bisa, pelatih marah seketika Subronto nyeletuk “Begitu saja kok nggak bisa?” diambilnya gambang dan tanpa ragu-ragu dan bisa. Semua yang hadir tercengang, anak kecil yang belum mengenal huruf bisa memainkan gambang, hafal wilahan di luar kepala. 

1935-1941
HIS Semarang (SD)-tidak tamat
Ikut Hadi Sumarto yang waktu itu sebagai ketua SBKB (Serikat Buruh Kendaraan Bermotor) Semarang.
Mendekat datangnya Jepang ke Indonesia Subronto dipindahkan pada kelas 7 di Neutrale School Keboromo, Tayu Pati. Sesudah Jepang mendarat, Subronto dikirim kembali ke Semarang.
1942
Menamatkan pendidikan rendahnya di Taman Siswa Semarang (SD).
Mulai di Taman Siswa mendapat pendidikan kebudayaan/kesenian dan sejak itu aktif dalam berbagai kegiatan seni suara dan sandiwara. Kepanduan di KBI.
Cerita kecil:
Subronto mengajak keponakannya Hartadi Darono, nonton sepak bola di lapangan Citaru. Sepulang nonton di tengah jalan dicegat oleh sinyo kecil, lebih kecil dari Subronto. Sinyo kecil memukul Subronto dari belakang. Subronto reflek membalas pukul sinyo kecil. Sinyo kecil lari, seketika dari rumah keluar sinyo-sinyo yang jauh lebih besar sebanyak 4 orang berumur belasan tahun, ganti keroyok Subronto. Melihat gejala tidak sehat, Subronto memberi aba-aba kepada Hartadi untuk segera lari. Subronto melawan dengan pukulan sambil menjauh dari depan rumah mereka. Berakhir mereka tidak memburu Subronto. 10 menit berjalan, dari belakang datang sepeda motor dengan zijspan di samping (motor cinthung, yang biasa dipakai untuk mengambil orang) berhenti di depan Subronto, memberi kode Subronto dan Hartadi untuk naik. Militer Polisi (MP) itu tancap gas menuju ke Hoofd Beurau. Turun dari zijspan, polisi menggandeng mereka masuk kamar, duduk menunggu. 1,5 jam menunggu, mereka dipindah ke ruangan lain, di sana duduk Polisi Belanda. “Hai kamu orang inlander berani-beraninya mukul sinyo Belanda, kenapa kamu melawan, apa kamu tidak tahu kalau Belanda di sini mengatur negaramu dan menghidupimu?”. Subronto menjawab, “habis, saya tidak tahu apa-apa dari belakang saya dipukul sinyo kecil, ya saya balas malah saya dikeroyok saudara-saudaranya yang lebih besar”. Polisi berkata lagi, “lain kali kalau kamu ketemu sama sinyo harus ngalah, tidak boleh balas, kalau kamu ulangi lagi awas saya akan masukkan kamu di sel, lihat seberang sana ada sel dan kamu saya kumpulkan dengan maling-maling dan rampok”.
1943
Sebagai petani, Karto Atmojo ingin anak laki-lakinya menjadi petani juga. Subronto dimasukkan ke Noogyo-Gakko (Sekolah Pertanian Menengah), Pati-tamat pada tahun 1945.
1945-1946
Selama sekolah-sekolah ditutup di zaman berakhirnya Perang Dunia II tahun 1945, Subronto menggabungkan diri menjadi anggota Markas Pertahanan Pelajar di Pati.
Sampai tahun 1946 Subronto tidak bersekolah, kemudian dikirim oleh orang tuanya ke Jogja, tinggal dengan kakaknya no. 5 agar melanjutkan sekolah.

1946-Juli’47
Melanjutkan sekolah di Taman Madya Yogya.
Ketika liburan bulan Juli, pulang ke Margomulyo dan tidak bisa kembali ke Yogyakarta karena terhalang Clash pertama. Sampai akhir tahun 1947 berada di Margomulyo dan memimpin kesenian ketoprak, Karto Atmojo marah besar karena ini, pada permulaan 1948 Subronto dikembalikan ke Jogja untuk melanjutkan pendidikan.
1948-Juli 1950
Bersekolah Taman Madya, Yogyakarta.
Ketika peristiwa Madiun ia masih bersekolah di yogyakarta.
1948-Juli 1950
Selama Clash ke-II ia menggabungkan diri di TP (Tentara Pelajar) Batalyon 300. masuk regu mobil di bawah pimpinan Kapten Martono, kemudian ditempatkan pada K.O.D.M Sleman/Mlati Yogyakarta sebagai Kepala Staf Sekretariat dengan pangkat terakhir Letnan II. Di bawah komando Kapten Zidni Nuri dan Hisbullah.
 
1950-1951
Di pertengahan tahun 1950, Subronto meninggalkan Yogyakarta, pergi menengok orang tuanya di Tayu, dan melanjutkan sekolah di Taman Madya Semarang-tamat. Pada akhir tahun 1950 Taman Madya diambil alih oleh pemerintah dan menjadi SMA Negeri dan lulus di bagian A pada tahun 1951. Selama di SMA menjadi anggota koor Gereja Pantekosta Semarang dan aktif juga dalam berbagai kegiatan seni suara dan sandiwara. Ia mendaftarkan diri sebagai Demobilisan Pelajar memenuhi seruan pemerintah. Disamping aktif dan menjadi ketua IPPI (Kares) Semarang. Subronto berangkat ke Jakarta dengan maksud ingin melanjutkan pendidikan pada Fakultas Sastra UI, berhubung sudah lepas dari orang tuanya, maka harus bekerja dan pindah mencari pendidikan sore di Perguruan Tinggi Ilmu Jurnalistik.
1951-1952
Perguruan Tinggi Ilmu Jurnalistik, Jakarta-tidak tamat (sampai tingkat I). 
Nov 1951-31 Januari 1954 
Karyawan Kementrian PP&K, Jawatan Pendidikan Masyarakat Bagian Pemuda, Jakarta sebagai Ajun Komisaris/menulis di mass-media dan menjadi redaktur majalah ”PEMUDA” yang dikepalai oleh Suyono Atmo.
Februari 1952
Masuk anggota Paduan Suara ”Gembira” Jakarta.
Nov 1952-Juli 1962
Pemimpin Ansambel Nyanyi & Tari Gembira. Ansambel ini perkembangan dari Paduan Suara Gembira yang didirikan oleh 3 orang pemuda delegasi (Titi Kamaria, Sudharnoto, Bintang Suradi) sepulangnya dari Festival Pemuda/Mahasiswa Demokratik Sedunia di Berlin.
1952 
  Sejak bergabung dengan paduan suara Gembira dia mempelajari teori musik oleh Amir Pasaribu di majalah-majalah Zenith, Horison, dsb. Selain itu Subronto bergaul akrab dengan para tokoh-tokoh musik pada waktu itu, tanpa melewatkan kesempatan untuk berguru dan menimba ilmu pengetahuan musik dari beliau-beliau, tokoh-tokoh musik tahun 1952-54 antara lain Amir Pasaribu, Sutisna, RAJ Sujasmin, Sudharnoto, Muchtar Embut, yang serta merta memberinya nama ”Subakat”, karena dinilainya talenta musik Subronto sangat tinggi.
  Dalam mengarang lagu, berprinsip, seperti halnya Cornel Simanjuntak bahwa musik/nada mengabdi pada lirik/kata-katanya: tekanan kata harus dinyatakan juga dalam tekanan musiknya. Kalau menjumpai suatu sajak/syair/puisi yang dinilainya kuat untuk dimusikkan, diungkapkannya dengan ”puisi ini menyanyi”. Sebelum menuntut ilmu musik berstudi di Jerman, ada karya puisi penyair-penyair yang digarapnya menjadi karya musik, antara lain berjudul ”Rukmanda”, ”Matinya Seorang Petani”. Untuk puisi karya Usmar Ismail berjudul ”Kemuning”, disusunnya dalam komposisi musik sebagai tugas persyaratan menyelesaikan studinya pada tahun 1964 di Hochschule fur Musik.
  Subronto adalah pendukung Bung Karno yang luar biasa. Bung Karno menyatakan ”perang” terhadap musik ”ngak-ngik-ngok”, maka dia sangat tanggap dengan menggalakkan penggalian lagu-lagu rakyat/daerah yang diangkatnya/digarapnya menjadi lagu artistik dalam aransemen untuk paduan suara. Lagu-lagu pendek sederhana seperti Yamko Rambe Yamko, Cik-cik Periuk, O Inani Keke, dls. Apapun yang diserukan dalam statement politiknya bung Karno, serta merta dituangkannya dalam bentuk lagu, antara lain Nasakom Bersatu, Resopim, Sandang Pangan, Bebaskan Irian, dsb.
Juli 1953
Ikut dalam Delegasi Pemuda/Mahasiswa Demokratik Sedunia di Bukarest selama 3 bulan.
1953,1956, 1957
Sebagai utusan pemuda/mahasiswa/seniman ke Nederland, Uni Sovyet, RRT, Polandia, Republik Demokrasi Jerman, Cekoslowakia, Rumania, Hongkong, dan Republik Demokrasi Vietnam.
1954-1960
Kepala Sekretariat & Penerjemah Kedutaan Besar Cekoslowakia, Jakarta.
1954-1961
Pembantu siaran kesenian RRI-Studio Jakarta. Memimpin siaran radio Paduan Suara Gembira sebulan sekali.
1955
Utusan sebagai seniman bersama Subiarto selaku mahasiswa ke Republik Demokrasi Vietnam dan Republik Rakyat Tiongkok selama kurang lebih 3 bulan.
1957
Ikut dalam Delegasi Pemuda/Mahasiswa sebagai ketua kesenian ke Festival Pemuda & Mahasiswa Demokratik Sedunia di Moskow.
1961-1966
Penata Kebudayaan Golongan E/II pada Inspeksi Kebudayaan Daerah Jakarta Raya Jawatan Departemen PP&K.
Februari 1961
Dalam rangka perjuangan Trikora, Ansambel Nyanyi & Tari Gembira yang ke-10 dengan cara-acara sebagai berikut:
  Malam pertama diadakan resepsi dengan mengundang para tokoh-tokoh instansi terkait dan tokoh-tokoh kebudayaan lainnya, yang diberi kesempatan untuk memberi sambutan, selesai setiap pidato disambut dengan alunan paduan suara.
  Malam kedua dipagelarkan karya musiknya nyanyi dan tari gerak ”Bila Ale Kembale”. Menyusun suatu potpourri lagu-lagu Maluku menjadi jalinan karya musik dengan gerak, dengan dinamainya ”Sendra Nyanyi” bertemakan kehidupan nelayan yang diberinya judul ”Bila Ale Kembale”. Di dalamnya dimasukkan komposisinya sendiri yang bernafaskan nada-nada Ambon_Maluku untuk solo soprano dan solo Bariton. Pada pagelarannya yang dilaksanakan pada kesempatan ulang tahun dasawarsa ”Gembira” ditampilkan sebagi soprano Retno Anita Rahman (zaman Orde Baru menjadi penyiar TVRI) dan penyanyi bariton diserahkan kepada Kondar Sibarani (pemenang penyanyi Seriosa dari Medan pada waktu itu). Sebuah karya musik sendra-nyanyi, dengan adegan Soprano berpisah dari dan menantikan kekasihnya kembali (nelayan bariton) bersama kawan-kawannya pulang dari laut. Karya ini mendapat dukungan orkest symphonie dari RRI studio Jakarta di bawah kondaktor Lie Eng Liong (Adhidarma) yang terkenal waktu itu. Pergelaran perdana ”Bila Ale Kembale” bertempat di gedung kesenian Pasar Baru, Jakarta Pusat, yang kedua di Zandvoort, Tanjung Priok, dimana hadir juga Perdana Menteri RI Dr. Leimena. Seluruh partitur karya ini termasuk partij-partij untuk orkes hilang di gedung RRI Jakarta karena terbakar. Dalam menyusun karya ini, Subronto menghubungi tokoh-tokoh Ambon yang ada di Jakarta, a.l Ny. Siwabessy, dll. 


Juli 1962-Agustus 1965
Sekolah Tinggi Musik ”Hanns Eisler” dalam Jurusan Kepemimpinan Paduan Suara dan Ansambel Kesenian di Berlin, Republik Demokrasi Jerman dengan predikat cum laude dalam rangka tugas belajar dari Kementrian PP&K Rep. Indonesia. Lulus pada bulan Juli 1965 dan pulang ke tanah air pada bulan Agustus 1965, disambut meriah oleh seluruh keluarga Ansambel Nyanyi dan Tari Gembira di Airport Kemayoran.
Dalam bulan Agustus itu pula rektornya, Prof. Dr. Eberhart Rebling bersama dengan istrinya Lin Yaldati, datang ke Indonesia atas undangan Lekra. Subronto menjadi pengantar dan penerjemah sampai ke pulau Bali.
1964
  Sewaktu studi di Berlin mendapat kesempatan untuk menjadi aktor film bagi DEFA (TV-nya Jerman) bersama dengan seorang mahasiswi Indonesia, Sari dalam cerita perjuangan kemerdekaan Malaysia yang judulnya ”Das Madchen aus dem Dschungel” dalam adegan Subronto mengemudikan perahu kecil di sebuah danau dalan perannya sebagai kurir. Sutradaranya sangat puas atas aktingnya karena tidak pernah mengulang.
  Dalam liburan panjang mengajar gamelan Jawa kepada para mahasiswa Denmark yang berminat dengan musik Jawa atas perintah Duta Besar RI di Kopenhagen.
Oktober 1965
Ditangkap dan ditahan di Markas BRGIEF di daerah Condet CIJANTUNG jaksel dengan tuduhan terlibat G30S, selama 28 hari.
1966-1967
Sopir bemo milik keponakannya Hartadi Darono dan guru privat piano.
Waktunya diisi dengan memerhatikan keadaan sekeliling yang gawat bagi ”golongan tertentu” pada masa itu, menyaksikan rumah Situmeang dikrutuk batu-batu dan bagaimana tingkah pola masa. Atas beberapa keadaan Subronto membuat komposisi-komposisi musik, karena takut adanya penggeledahan-penggeledahan rumah sewaktu-waktu, ciptaan-ciptaannya itu dititipkann kepada Toto yang bekerja di Kedutaan Besar Uni Sovyet.
1967-1968
Wartawan dari Cekoslowakian News-Agency CTK.
1967
Panitia peringatan hari Pattimura akan mengadakan acara “Floating Shop” diisi dengan pergelaran musik dan lain-lain mata acara. Atas permintaan panitia, Subronto menyusun suatu komposisi untuk koor dan orkes berjudul “Maluku dari Abad ke Abad” yang dibawakan oleh Group Kesenian Pattimura Muda yang terdiri dari mahasiswa dan sarjana Maluku. Komposisi dengan durasi 50 menit. Salah seorang ketua panitia, Commodor Udara Luhukai yang meninggal dunia pada saat pembakaran kembang-api, salah satu mata acara peringatan di pelabuhan Ambon pada tanggal 14 Mei 1967. karya ini tidak sempat lagi dipentaskan, seluruh scorenya masih ada ditulis dengan pensil.
2 April 1967 
Membentuk paduan suara ”Jakarta” namun tidak bisa aktif.
30 April 1968
Mengadakan konser pertama di tanah air sejak pulang dari Jerman bertempat di Kedutaan Besar Republik Demokratik Jerman, Jakarta.
5 Agustus 1968
Pada waktu subuh pagi diambil dari rumah oleh militer Kalong (dituduh ada hubungan dengan rahmat, pelukis LEKRA) dan ditahan berpindah-pindah tempat, di Gunungsari, Tangerang (tanah abang) dan akhirnya dipenjara Salemba sampai 1920.
1970-Des 1977
di Pulau Buru.
Sebelum dikirim ke Pulau Buru, Subronto tinggal di satu sel dengan seorang evangelis Luhukai yang menginjilinya. Pengalamannya mendengarkan dakwah-dakwah di penjara mendorongnya untuk memilih Kristen. Karena ada sangsi bagi tapol yang pindah agama, maka setelah di pulau buru tanggal 27 April 1971 dibaptis Kristen Protestan.
Di Pulau Buru, tapol dijaga oleh tentara suku Maluku yang kejam; perasaan Subronto terhadap suku ini berbalik, yang dahulunya suka dengan lagu-lagu Maluku sehingga membuat karya musik berdasarkan nada-nada Maluku ”Bila Ale Kembale”.
Karya-karya Subronto waktu di pengasingan Buru, a.l menulis karangan tentang ”Lagu Rakyat”, tentang ”Keroncong”, juga naskah berjudul ”Pijitan Gitar Disertai Teori Musik Singkat”, yang belum sempat diterbitkan. Dan tentang ”Koor dirigent” yang akhirnya diterbitkan oleh BPK ”Gunung Mulia” pada tahun 1983.
1974-1977
Membentuk dan memimpin ”Bandko” (Kelompok Musik di Markas Komando) di pulau Buru. Mengadakan acara-acara musik di unit-unit. 
Sebagai kristiani, Subronto memperkaya musik gereja dengan bertolak dari prinsip agar kekristenan Indonesia dapat dicerminkan a.l dari lagu-lagu pujian yang bernafaskan nada-nada khas Indonesia. Subronto berpendapat bahwa musik Indonesia kontemporer seyogyanya mengandung, atau berdasarkan nada-nada Indonesia.
Menjelang Natal tahun 1976 Subronto membuat komposisi musik Kantata Natal berjudul ”Bintang Bethlehem”, kelahiran Yesus. Lirik dari Amarzan Loebis, yang dipentaskan bersama kawan-kawan tapol di Pulau Buru dengan iringan orkes gesek dan gamelan Jawa: saron dan gong sebagai pagelaran pertama pada waktu perayaan Natal di Buru. Sejak tahun 1974, para tapol mendapat kelonggaran untuk mengadakan kegiatan sesuai dengan bidang mereka masing-masing. Mengenai komposisi ”Bintang Bethlehem”, banyak pihak yang berpendapat bahwa blending musik Jawa dengan musik Baratnya sangat mulus.
20 Des 1977
Tiba kembali di Jakarta pulang dari Pulau Buru.
25 Des 1977
Merayakan Natal ditengah-tengah keluarga.
Feb 1978 Nov 1982
Sebulan setelah pulang ke Jakarta, Subronto dijemput oleh Alfred Simanjuntak Direktur BPK ”Gunung Mulia” untuk bekerja sebagai penekun dari Yamuger (Yayasan Musik Gereja) merangkap di BPK Gunung Mulia Jakarta. Di Yamuger dia mempunyai wadah untuk pelayanannya kepada Tuhan Yesus Kristus dengan mengarang lagu-lagu rohani dengan bertolak prinsip agar supaya kekristenan orang Indonesia tercermin antara lain oleh lagu-lagu pujian yang bernafaskan nada-nada khas Indonesia yang berbhineka itu, antara lain gamelan Jawa, musik pentatonik. Di Yamuger ada satu tim yang menyaring lagu-lagu gerejawi, terjemahan dari lagu mancanegara, komposisi baru dari dalam negeri, Subronto menhadi anggota TING (Tim Inti Nyanyian Gereja) itu. Subronto menyelenggarakan pembinaan koor dirigen sampai beberapa angkatan.
Pimpinan BPK Gunung Mulia mengangkat Subronto menjadi penanggung jawab personalia, disamping tetap menjadi motor Yamuger.
1978
Karya musiknya yang digarap/dikarang di Pulau Buru, Kantata Natal ” Bintang Bethlehem”, yang adalah komposisi musik barat diblending dengan nada-nada gamelan Jawa: saron, kenong, kempul, gong, ditayangkan di TVRI, produksi YAKOMA. Nama dan figur pengarangnya tidak ikut ditayangkan (diblackout). 
1978-1979
Pelatih paduan suara di Bina Vokalia, milik Pranajaya.
Rombongan koor wanita ”Bina Vokalia” yang mengikuti lomba koor internasional di Belanda pada tahun 1980, berhasil meraih juara III, tetapi Subronto tidak diikutsertakan dalam rombongan tersebut karena adanya larangan ke luar negeri.
Kelompok ibu-ibu ”Bina Vokalia” keluar dari ”Bina Vokalia” dan membentuk grup ”Svarna Gita”, mereka minta Subronto menjadi pelatih/dirigen nya. 
1979-1980
  Dikirim ke Tondano Sulawaesi Utara dalam rangka pembinaan dan pengarahan koor dirigen.
  Mengikuti seminar, lokakarya musik gereja di Jakarta, di Sukabumi, menjadi moderator, menjadi anggota maupun ketua dewan juri lomba paduan suara gereja.
  Mengadakan pembinaan dan pengarahan kepada para koor-dirigent di Jakarta. Bahkan juga dikirim ke Tomohon bersama Jerry Silangit untuk hal yang sama.
  Mengadakan kerja sama dengan Chatarina Wiriadinata, pemusik, penyanyi yang mengelola Sanggar ”Suswara” di Bandung maupun Jakarta. Subronto sering diundang untuk menjadi dirigen tamu pada konser-konsernya baik di Bandung maupun di Jakarta.
  Menjadi Choir Repetitor untuk pementasan konser Oratorium ”Requiem” W.A Mozart oleh paduan suara Svarna Gita dibawah kondaktor Ati Bagio, produksi Ati Bagio.

1979
Memprakarsai pendirian Yayasan ”Gita Persada” yang diketuai oleh Pdt. Marantika. Yayasan yang terletak di daerah Klender, Kebon Kelapa, Jakarta Timur ini memproduksi dan mereparasi alat musik petik/gesek seperti gitar, biola, cello, dsb. Dasar pemikiran pembentukan yayasan adalah memanfaatkan bahan-bahan baku untuk pembuatan alat musik tsb yang berlimpah di tanah, air, bambu, kayu. Para pengurus adalah dari PGI (Persatuan Gereja-gereja Indonesia). Setelah meninggalnya Subronto, ada sesuatu hal yang kurang beres dalam pengelolaan yayasan oleh pengurusnya, dengan rekening bank di Algemene Bank Nederland N.V.
1981
Mengadakan konser drama ”Athalia”, Felix Mendelson Bertholdu, yang dipimpinnya sendiri sepenuhnya, produksi ”Svarna Gita” di Studio RRI, Jakarta.
Juli 1982
Konser Piano ”Svarna Gita” di TIM; konsernya terakhir, paduan suara, produksi Svarna Gita. 

  Dalam pemimpinnya paduan suara Gembira berkembang menjadi Ansambel Nyanyi dan Tari Gembira dengan kegiatan-kegiatan seni antara lain atas order panitia negara penyambutan tamu-tamu luar negeri mengadakan pagelaran seni-suara dan tarian dengan lagu-lagu nasional, perjuangan, rakyat/daerah, juga lagu rakyat dari negara asal tamu juga tarian.

September-Oktober 1982
Dirawat di rumah sakit Pertamina karena terkena penyakit kanker otak dan sekaligus paru-paru.
12 November 1982
Meninggal dunia dan dimakamkan di Menteng Pulo.
 
KETERANGAN
  Telah terdaftar sebagai calon Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia dengan nomor pendaftaran 4259/A/1/VII/59 tertanggal 15 Juli 1959.
  Mengorganisir pemutaran-pemutaran film di gedung-gedung bioskop untuk anak-anak sekolah, akhirnya bersama dengan ibu Siwabessy dan Zus Fransisca Fangidey dan mendapat dukungan dari Bapak Brigjen Suharyo (yang memproduksi film ”Tangan-tangan Kotor”) membentuk Yayasan ”Kutilang” yang tujuannya memberikan Voeding mental/spiritual kepada anak usia sekolah dasar dan menengah melalui film yang bermutu dan sesuai.
  Subronto sebagai pemimpin umum Ansambel Tari dan Nyanyi Gembira merangkap sebagai dirigen.